Ketum HBB: Ada Kejanggalan Dalam Sidang Kasus IPA Martubung

Pasca-pemeriksaan di Bareskrim Polri, Jumat (26/8/2022), istri Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi alias PC, tidak menjalani penahanan

topmetro.news – Ketua Umum HBB (Horas Bangso Batak) Lamsiang Sitompul SH menilai, ada kejanggalan dalam kasus dugaan korupsi Proyek IPA Martubung. Hal itu disampaikannya kepada media, menyikapi perjalanan sidang dimaksud. Termasuk adanya putusan prapid yang diabaikan.

“Ada beberapa kejanggalan dalam sidang tersebut. Termasuklah, adanya putusan prapid, yang sudah memutuskan, bahwa status tersangka Flora Simbolon dalam kasus itu, tidak sah,” kata Lamsiang Sitompul SH, Rabu sore (6/2/2019).

BACA JUGA: IPA Martubung Sudah Menghasilkan Puluhan Miliar Rupiah

Status Tersangka tak Sah

Sebagaimana diketahui, putusan prapid di PN Medan No 73/Pid.Pra/2018/PN Mdn tertanggal 26 Oktober 2018, di antaranya menyatakan, tindakan termohon (Kejari Belawan) menetapkan pemohon (Flora Simbolon) sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana korupsi paket pekerjaan Enginering Procurement Contruction (EPC) Pembangunan IPA Martubung, sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (1) Subsidair Pasarl 3 Jo. Pasal 18 UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, adalah TIDAK SAH dan tidak berdasarkan atas hukum. Dan oleh karenanya, penetapan tersangka ‘a quo’ tidak mempunyai hukum mengikat.

Lalu bagian lain putusan itu menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon (Kejari Belawan) yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri pemohon (Flora Simbolon) oleh termohon (Kejari Belawan).

Putusan ini sudah dikeluarkan PN Medan pada tanggal 26 Oktober 2018. Atau beberapa hari sebelum dakwaan atas pokok perkara dibacakan Kejari Belawan. Dimana menurut Mahkamah Konstitusi melalui SK No: 102/PPU-XII/2015 tertanggal 9 November 2016, telah mempertegas, bahwa praperadilan dinyatakan gugur, ketika sidang perdana pokok perkara terdakwa digelar di pengadilan. Artinya, jika sidang perdana, biasanya untuk pembacaan dakwaan terhadap terdakwa, sudah digelar, maka permohonan praperadilan dinyatakan gugur dengan sendirinya.

Abaikan Putusan Prapid

Sementara dalam kasus ini, putusan prapid sudah keluar, beberapa hari sebelum sidang perdana. Sehingga ada kesan, bahwa putusan prapid diabaikan.

Artinya, kata Lamsiang, bahwa ketika status terdakwa dinyatakan tidak sah sebelum pembacaan dakwaan, maka legalitas sidang selanjutnya menjadi pertanyaan. “Sehingga menjadi aneh, sebuah peradilan menyidangkan kasus yang terdakwanya tidak sah. Apalagi jelas sesuai ketentuan, bahwa permohonan praperadilan itu tidak gugur,” sebut praktisi hukum ini.

Dan nyatanya, kata Lamsiang, di fakta persidangan pun, saksi-saksi yang dihadirkan JPU, malah meringankan terdakwa. “Ini kan aneh. Kok saksi yang dihadirkan JPU meringankan terdakwa dan kebanyakan menyebut pekerjaan sudah selesai sesuai kontrak? Ada apa dengan Kejari Belawan?” tanyanya.

Hal lain yang jadi sorotan Lamsiang adalah, bukti permulaan dalam kasus ini. “Apa kah memang ada bukti permulaannya? Sebab sepanjang yang saya ikuti, bahwa terdakwa Flora Simbolon beberapa kali menyatakan, bahwa dirinya tidak pernah diberitahu apa alasan dia menjadi terdakwa. Apa yang dinyatakan terdakwa ini di persidangan, tentu harus jadi catatan bagi hakim. Apa kah memang bisa seperti itu. Bahwa seseorang ditetapkan sebagai terdakwa, tanpa diberitahukan kepada yang bersangkutan, apa sebabnya,” kata Lamsiang.

BACA JUGA: Pemberian Amplop dan Penyelundupan Hukum di Sidang IPA Martubung

Mens Rea dan Actus Reus

Terakhir, Lansiang Sitompul menyinggung soal ‘mens rea’ dan ‘actus rea/actus reus’ dalam kasus ini. Sebab, kata dia, andai pun ada kesalahan (actus reus) dilakukan oleh terdakwa, maka harus diperhatikan juga, apakah ada niat (mens rea).

Khusus dalam kasus ini, kata Lamsiang, salah satu yang selalu menjadi sorotan dan dianggap jadi kerugian negara adalah, soal keterlambatan. Padahal, di satu sisi, kata dia, dalam kontrak jelas ada diatur soal adendum penambahan waktu. “Lalu di sisi lain, apa kah terjadinya keterlambatan itu adalah karena niat?” tanya dia.

Sementara, sambung Lamsiang, bahwa penyebab keterlambatan pengerjaan, sebagaimana selalu terungkap dalam persidangan, adalah karena masalah izin. Lalu ada pula karena keadaan alam dan kelangkaan barang di pasar.

“Inilah yang saya katakan soal ‘mens rea’ dan ‘actus reus’ tadi. Apa kah keterlambatan itu, yang mengakibatkan kerugian negara dari segi waktu, bisa dikatakan karena ada niat? Kalau berdasarkan fakta persidangan, saya kira tidak. Keterlambatan itu jelas sudah di luar kuasa rekanan, karena memang muncul dari faktor eksternal mereka. Sehingga kalau keterlambatan itu jadi masalah, tentu saja itu bukan karena ada niat atau ‘mens rea’. Tapi faktor di luar kendali,” katanya.

Lamsiang pun menyoroti juga soal kontrak. Sebab menurut pengetahuan dia, kalau ada pelanggaran dalam kontrak, maka itu bukan pidana. Tapi perdata. “Dan sebenarnya itu adalah wanprestasi kalau ada pelanggaran kontrak,” tutupnya.

reporter: Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment